Reda
Menjelang subuh sebagian pemuda kota
Jey hilang. Tak ada yang tau pasti keberadaan mereka. Semalam, sebelum hilang
mereka sempat tertawa riang di kedai dekat rumah istana, yang entah milik
siapa.
Para orang tua ‘pemuda yang hilang’,
kemudian oleh kepolisian setempat disingkat PYH, biasa saja. Palingan lusa
anaknya akan pulang minta uang. Kyai Kung mengatakan kalau para orang tua PYH
memang sangat sibuk. Hari-harinya hanya untuk mencari uang, makan, lelah
kemudian tidur. Berbeda dengan orang tua Reda salah satu pemuda yang selamat,
yang lebih memperhatikan kelakuan anaknya.
Reda seperti pemuda pada umumnya,
bedanya ia rajin membaca komik detektif dan film-film romantika. Lagi, ia suka
membaca buku sastra. Sedangkan pelajaran sekolah ia belajar sekenanya. Malam
hilangnya PYH Reda tidak berada di sana.
Seminggu berlalu, PYH belum juga
ketemu. Para orang tua PYH melapor ke polisi.
“Kami akan segera menindaklanjuti
perkara ini.” Ucap pak polisi.
Mereka kembali ke rumah sedikit lega,
setelah sempat sedikit resah. Masyarakat kota Jey tak biasa musyawarah. Ada
polisi sama dengan ada solusi. Dan beres. Besok kerja lagi. Anak mereka pasti
akan ketemu. Entah bagaimana caranya.
***
Malam Senin cerah, bulan tak merayu
mendung tuk menutupi telanjangnya yang purnama. Tepat satu hari setelah
seminggu hilangnya para PYH. Reda dan beberapa temannya berkumpul di kedai yang
sama. Duduk di tempat yang sama pula. Tak ada tanda-tanda mencurigakan dari
wajah barista kedai itu. Ia polos dan murah senyum.
Reda mulai mengamati sekeliling
kedai. Mulai jendela, penataan kursi-meja sampai merk grinder yang digunakan.
Kesemuanya tak ada tanda-tanda yang meyakinkan. Ia mengajak teman-temannya
membicarakan hal penting di luar. Karena sikap kewaspadaan Reda tak ingin
informasi ini bocor ke telinga yang salah.
Bulan tertutup mendung yang digiring
angin dari Selatan saat Reda memulai diskusi. Dugaan sementara mereka para PYH
mabuk berat lalu diamankan polisi. Dugaan ini kurang kuat, jika mereka
diamankan polisi maka sedari awal pihak kepolisisan akan membei surat kepada
para orang tua PYH. Dan sangat kaut tidak masuk akal kalau orang tua para PYH
malah melaapor jika hal itu terjadi.
“Kemungkinan mereka diculik
genderuwo.” Ucap kawan Reda berambut ikal.
“Tidaklah mungkin sobat. Di kota
sebesar dan seterang ini genderuwo mana yang berani menampakkan diri apalagi
menculik. Pendapatmu sama halnya dengan lelucon. Ini sudah zaman canggih
teknologi, semuanya bisa dijelaskan secara ilmiah, tak ada tempat untuk mitos
dan tahayul. Yang logis dong!” celetuk kawan Reda lainnya yang berambut pirang,
ia bercita-cita masuk kuliah jurusan filsafat. Pemuda berambut ikal mengangguk
dengan rasa bersalah. Diangkatnya kepalan tangan untuk menyanggah dagu. Wajahnya
terlihat seperti Plato yang duduk sedang berpikir, namun pandangnya kosong ke
tempat gelap, lorong sebelah kedai.
Reda bukan sosok pemikir, ia hanya
suka membaca. Ia mulai mengingat-ingat bagaimana tokoh dalam komik detektif
yang ia baca menemukan tanda-tanda awal. Reda mulai mencium aroma sekitar
dengan kedua lubang hidungnya. Tak bau apa-apa. kedua daun telinganya di pasang
untuk mendengar bunyi kecil, paling kecil. Tak ada bunyi kecil, semua hiruk
pikuk keras dan cepat. Meja dirabanya dengan telapak tangan. Sampai ke
kaki-kaki kursi.
“Kamu sedang main teater da?” ucap
kawan satunya lagi yang berambut keriting.
Ketiga kawannya turut menyaksikan
drama Reda. Reda tak memberi jawab apa. Ia terus saja meraba. Kini indera
pengelihatan. Matanya meliuk-liuk ke seluruh penjuru. Ia melihat apa-apa
seperti semula juga. Deretan lampu. Tembok-tembok pagar jauh di ufuk timur.
Jalanan yang padat. Suara knalpot, klakson dan deru mesin. Lorong sebelah kedai
yang gelap dan toko-toko sebelah kedai yang lengang. Awan di atas mengumpulkan
mendung, berhalakah. Bumi gelap, meski bola lampu berpendar. Kota Jey dipeluk
gelap malam.
***
Pagi buta Reda terbangun. Suara kokok ayam didengarnya remang
bersama suara jangkrik dan lalu-lalang kendaran. Wussshhh. Reda baru sadar sepenuhnya.
Ia minum segelas air. pergi ke pancuran membasuh muka. Melanglang kembali ke
jalanan. Ia tak mengerti, kenapa ia perlu ikut mencari PYH. Barangkali rasa
solidernya kepada PYH.
Barulah ia berjalan seorang diri dan membatin:
“Mungkin jika aku menyusuri jalan dari kedai sampai arah
kampung akan ketemu jawabnya.”
Jalanan masih lengan. Beberapa tukang becak yang mangkal ia
tanya tentang kejadian sepekan lalu. Tukang becak tak memberi petunjuk. Malahan
ia diberi jawaban irasional. Bahwa PYH mungkin disadap ke alam lain. Ia
bertanya ke ibu-ibu yang hendak ke pasar. Ibu-ibu itu malah menyalahkan PYH
yang kurang hati-hati atau PYH itu memang nakal dan patut mendapat hukuman
setimpal. Ia bertanya ke anak-anak SMA yang duduk di halte. Jawaban featuristik
ala pembaca ulung komik-komik masa depan. Ia mengatakan kepada Reda
barangkali kawan-kawan yang dicarinya itu diculik ufo. Sungguh menyebalkan dan
meresahkan Reda.
Matahari mulai berdiri tegak. Reda haus dan lapar. Ia mampir
ke warteg. Di sana ramai orang-orang menunduk dihadapan layar ponsel
masing-masing. sang pemilik warung agaknya mendengar berita kehilangan para
pemuda di kampung Reda.
“Kira-kira mereka diculik atau sengaja minggat buk?”
“Nak. Jaman sekarang polisi sudah hebat-hebat. Kasus-kasus
penculilkan akan segera ditemukan, kalaulah memang keluarga korban sudah
melapor.”
“Berarti mereka sengaja minggat?” tanya Reda.
“Anak-anak jaman sekarang suka ikut-ikutan celeng. Bisa saja
mereka minggat!”
“Apa buk? Celeng?”
“Ituloh nak, yang lagi viral hari ini.”
“Apa buk yang viral?”
“Loh anak ini tak pernah tuiteran?”
“Saya tak punya akun tuiter buk!”
“Tapi punya akun Ige?”
“Tak pula buk”
“Yaa tuhan. Anak ini benar tak bersosmed?”
“Ada Cuma weha buk.”
“Ituloh nak, sekarang di tittot, ige dan tuiter lagi trending
celeng minggat sampai habis uang. Dan bertahan barang sekuatnya tanpa uang.”
“Ah, tak mungkinlah buk mereka bisa hidup tanpa uang.”
“Apa yang tak mungkin di dunia ini nak? Apa-apa yang lagi
meledak sekarang jadi acuan tindakan. Kamu harus tau itu. Ibu aja sering update
resep pecel terbaru.”
Reda pulang dengan tangan terkepal. Ia harus mencari petunjuk
lewat kecanggihan teknologi. Selama ini ia terkungkung dalam komik, film dan
buku yang serba offline.
Sampai rumah ia instal ige, tuiter dan mendaftar akun baru.
Rupanya betul yang disebut ibu warteg tadi. Ada Chalenge itu. Reda
menebak dua hari kemudian PYH akan kembali dengan wajah lesu, pakaian lusuh dan
mata yang keruh. Ia memberi tahu hal-ikhwal kepada orang tua PYH. Tak ada
respons positif ia malah ditertawakan dan dianggap gila. Reda kecewa. Ia pulang
menggenggam nestapa. Matanya berbinar memantulkan merah gelap senja.
Dua hari kemudian para PYH, kawan-kawannya itu kembali dengan
keadaan yang digambarkan Reda kepada orang tua para PYH. Para orang tua PYH
kaget, marah bukan main. Reda sendiri memutuskan pergi ke desa neneknya di
seberang Timur. Ia ingin dekat dengan matahari pagi. Karena senja telah lama
membuatnya resah dan putus asa. Dihapus semua akun-akun sosmednya. Ia ingin
benar-benar hidup nyata. Bukan dalam dunia maya yang hanya berisi ilusi belaka.
Reda telah lama gelisah hidup dalam dunia serba cepat, bising dan tak terarah.
Membingungkan! Barangkali kembali ke desa adalah apokalips dari zaman batu
canggih yang ia alami hari ini.
Ntapsz
BalasHapusKeren abiezzz
BalasHapus