Selamat Malam

 Untuk Han temanku

Dulu... dulu sekali sebelum kita bertemu hidupku sama sekali tidak buruk. Pertemuan denganmu waktu tengah malam itu, saat dua orang kawanku mengajak untuk makan tempe penyet di seberang jalan raya yang lengang. Ku rasai belum tiba sunyi seperti saat ini. Ketika engkau lepas diriku dari pekiknya keramaian. Mulanya aku senang bisa kenal denganmu. Seiring waktu menembus hari demi hari depan yang tak bisa dibayangkan, engkau semakin tak karuan. Engkau atau aku tak bisa saling menyalahkan, mengingat kita sama-sama merasa benar masing-masing. Aku benar karena aku mengenalmu dan engkau benar karena tak sengaja berkenalan denganku. Aku masih ingat betul ucapanmu ketika aku mengorek-ngorek gigi dengan tusuk gigi karena kedelai tempe itu nyangkut di gigiku yang berlubang.

"Hidup ini memang lucu!" Katamu. Engkau melanjutkan ketika kedelai yang menyangkut itu telah lepas dari lubang gigiku.
"Kita sama-sama buruk dan hidup tak lebih buruk"
"Tidak!" Bantahku.
"Kita baik dan hidup juga baik. Hanya saja nasib kita kurang beruntung"
"Kau malah menyalahkan nasib"
"Bukan menyalahkan, nona! Kalau tak ada nasib bagaimana hidup kita menentu? Adanya nasib saja hidup kita belum menentu"
"Sama saja! Kau tak kuasa menyalahkan dirimu, keburukanmu dan kau selalu bangga dengan kemujuranmu yang sesaat itu"
"Beda. Adanya nasib adanya hidup! Baik nasib buruk atau baik sama"
"Sama-sama buruk untuk kita! Kita dipertemukan di sini karena nasib buruk. Bayangkan jika kita tak pernah bertemu, hidupmu dan hidupku tak akan lebih buruk dari sebelumnya"
Serupa itu kiranya dialogku dengan dia.

Dalam sobekan kertas kecil tanganku mengembara...

Kala hati ini takluk oleh mata indahmu pada sore itu. Mata serupa senja. Tak sedikit pun terbesit pikiran akan adanya perpisahan. Bagaimana mungkin perpisahan tak ada kalau awalnya adalah penciptaan. Hanya orang-orang pandir yang berpikiran akan adanya perpisahan! Orang sepertiku yang menganggap jarak dan waktu adalah sebab utama perpisahan. Ada yang bilang kepadaku bahwa kita diciptakan bukan untuk perpisahan. Pertemuan pertama kita bisa jado hanya ilusi juga perpisahan raga ini. Aku anggap omongan itulah yang ilusi! Sudah nyata bahwa raga kita berpisah. Sedang jiwa? Jiwa juga ilusi untuk menyangkal kepedihan perpisahan! Aku tak percaya akan adanya jiwa, ruh dan hal ghaib lainnya. Aku percaya kita ada! Nona!

Semenjak perpisahan itu lah hidupku berubah. Aku lebih sering sendiri. Diam. Diam adalah hal yang bisa kulakukan sampai saat ini. Diam bagiku sama dengan menumpuk tanah, suatu hari akan menjadi tumpukan tinggi serupa gunung. Aku harap akan menjadi gunung berapi yang meladak dahsyat. Aku menunggu ledakan itu, nona! Ledakan ketika dunia tak mempertemukan kita lagi. Tapi kenapa malam itu kita harus bertemu lagi? Kau meruntuhkan seluruh tumpukan tanah itu. Tak ada gunung berapi tak ada ledakan dahsyat. Semua runtuh menjadi rata kering, tertiup angin menjadi debu-debu. Akulah debu-debu itu sekarang!

Kepergianmu lagi menjadikaku bersahabat dengan angin. Aku mulai terbiasa tak terkendali. Seringkali aku ribut sesukaku. Tanpa sadarku. Menjadi manusia rasanya memuakkan tetapi menjadi hewan pun hanya akan jadi santapan! Mau menjadi malaikat rasanya diri najis, sedangkan ingin menjadi iblis? Rasanya tak ada dari kita ingin menjadi iblis atau bahkan tak kuasa. Kembali lagi ingatan tentangmu membuatku terjun dari gunung, menyapu lembah dan turun ke daratan mengempas kemarahan. Apakah aku salah jika aku rindu, nona? Apakah perpisahan itu memang ada? Jawaban terakhirmu yang mengunci bibirku menjadikanku semakin runyam. Bahkan si kecoa itu atau juga orang gagal kurasa tak kuasa menahan sayatanmu nona!

Semoga malam ini engkau masih mengelabui sunyi! Yang kurasakan bukan apa-apa. Kaulah yang menderita!

Selamat malam.

Betapa buruknya coretan itu setelah kubaca ulang. Kubakar lalu kusaksikan abu kertas itu berterbangan ke langit gelap tanpa bulan, tanpa setitik bintang.

Ku tengadahkan kepala menyaksikan gelap yang akan runtuh nanti. Iya, aku rindu padamu, pada semburat kelahiran cinta.

Tulungagung, 16 Juni 2022.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reda

Mimpi Bunuh Diri