Marita

Tulungagung, 2022


Pada suatu masa yang lengang, burung kolibri terbang mengitari gabah para petani. Di sawah lapang, kering nan panas. Batang padi bekas panenan menyeruak, burung-burung pipit kecil bermain-main di sana.

Di dalam gubuk Marita duduk bersimpuh. Menikmati sepoi angin sembari memandang ibu dan bapaknya yang memotong segenggam demi segenggam padi. Wajah bapaknya penuh peluh mirip daun talas yang meninggalkan bulir air sisa hujan. Ibunya bercapil, wajahnya teduh.

Musim panen ini keluarga Marita terlambat panen. Sawah-sawah tetangga sudah panen lebih awal. Teman-temannya sudah dibelikan baju baru dari hasil uang panen orang tua mereka. Marita sempat merengek kepada ibu bapaknya karena belum dibelikan baju baru.

“Kan bulan lalu sudah dibelikan abangmu baju anak cantik.” Tutur ibunya.

“Yang untuk lebaran kan belum mak.”

“Sawah bapakmu belum panen.”

“Tapi mak... Teman-teman sudah beli baju baru, bagus-bagus. Kemarin Rinda menunjukkan baju barunya warna merah muda, bagus mak. Katanya dia diajak beli di pasar Selasa.”

“Berdoalah. Supaya hasil panen saah bapakmu bagus. Nanti kalau sudah panen biar diantar bapakmu beli baju baru.” Bujuk ibunya.

“Aku setiap hari berdoa mak.”

“Iya lebih giat lagi berdoanya dan sembahyang subuhnya jangan kesiangan, supaya rejekimu tak dipatok ayam.”

“Memang ayam bisa matok rejeki mak?”

“Bisa saja, asal kau bangun subuh lebih awal, ayam tak akan berani mematok rejekimu. Sudah, kau lanjut belajarmu.”

“Alaaah. Belajar terus. Capek mak.”

“Kau tak ingin seperti abangmu? Abangmu bisa bekerja di kota karena dia giat belajar.”

“Iya, iya mak, aku belajar.”

“Kalau sudah rampung, segera tidur. Ingat bangun subuh lebih awal!”

Malam itu, Marita membayangkan masa pergi ke pasar Selasa tiba. Ia digandeng bapaknya berjalan melihat-lihat banyak baju di pasar itu. Lalu ia memilih-milih baju yang menurutnya bagus. Segera ia terlelap.

Masih duduk manis di gubuk sawah. Marita tersenyum-senyum karena sebentar lagi ia akan membeli baju baru. Baju lengan panjang warna oranye, seperti baju yang dipakai Nike.

Ibunya menghampiri, mengganggu lamunannya.

“Jangan melamun saja!” Tegur ibunya. Marita malah sumringah menebar senyum pada ibunya.

Bedug dzuhur terdengar, disusul suara adzan menggema. Panen sudah selesai. Bapak, ibu dan tetangga yang membantu mulai mengangkat gulungan tangkai padi ke mobil bak. Marita diboneceng ibunya kembali ke rumah. Sementara bapak dan tetangganya masih meneruskan pekerjaan.

“Nak, jangan ditiru bapakmu yang tak puasa. Tapi kau harus mengerti, ia tak kuat menjalani puasa bebarengan dengan panen. Panen selalu menguras banyak tenaga dan bapakmu pasti haus dan letih.”

“Iya mak.”

“Segera mandi, lalu shalat. Emak mau bersih-bersih diri sekalian mencuci pakaian.”

“Baik mak.”

***

“Marita! Sahur nak!”

Mendengar suara ibunya, Marita masih saja berguling-guling di atas dipan, memeluk bantalnya.

“Ayo bangun! Sudah mau imsak lho.”

Marita duduk mengucek matanya. Ia hembuskan nafas besar. Kemudian berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Dari dalam kamar mandi ia mencium aroma ikan asin. Baunya menebar segera membelalakkan matanya. Ia segera cuci muka kemudian bergegas menghampiri ibunya.

“Masak apa mak?”
“Sayur bening, ikan asin sama tempe goreng kesukaanmu.”

“Sambelnya jangan pedes-pedes mak.”

“Dari zaman buyutmu tak ada sambel yang tak pedes. Bapakmu suka sambel nak.”

“halah....”

Di ruang tengah bapaknya duduk mendengar ceramah dari bunyi radio. Marita mengahmpiri bapaknya.

“Pak, pak. Kapan kita ke pasar Selasa?”

Bapaknya tak mendengar suara kecil Marita. Suara radio benar-benar menutup telinga bapaknya.

“Bapaaak...” suara Marita setengah berteriak.

“Hoe, nduk. Ada apa?”

“Kapan kita ke pasar Selasa?”

“Buat apa nduk pergi ke sana?”
“Beli baju lebaran lah pak!”

“Kan kamu masih punya baju bagus to.”

“Kata emak kalau habis panen aku dibeliin baju baru”

“Tak usah lah nak. Kan bajumu masih ada yang bagus-bagus. Tokh pakai baju apapun kau tetap saja cantik.”

Ibu Marita menyusul ke ruang tengah. Ia meminta agar bapaknya membantu menyiapkan makanan.

“Mak. Bapak...”

“Kenapa Bapakmu nduk?”

“Bapak jahat...” Suara isak tangis terdengar.

“Husshh. Cup-cup-cup. Biar mak cubit bapakmu.”

Suara tangis Marita semakin kencang. Bapaknya berjalan dari pawon membawa wakul. Di atas wakul sepiring tempe beradu ikan asin goreng. Tangan kiri bapak Marita membawa manci berisi sayur bening. Marita yang dibujuk ibunya masih tersedu-sedan.

“Kenapa nduk ayu.”

Marita memeluk ibunya, menyembunyikan wajahnya di perut ibunya. Tangan ibunya membelai rambut Marita. Cup-cup-cup.

“Pak kau apa kan njeng ratuku?”

“Lho. Bapak tak berbuat apa-apa.”

“Bapak jahat... Bapak jahat...” suara Marita lirih bersembunyi di perut ibunya.

“Bapak jahat bagaimana nduk?”

Tangan ibu Marita menjiwit tangan lelaki kurus itu.

“Nah, bapakmu sudah mak jiwit. Cup-cup cah ayu.”

“Bapak tak mau membelikan Rita baju mak....”

“Sudah sahur dulu, sudah dekat waktu imsak.”

Marita lari ke kamar. Suami istri itu berbincang lirih. Kemudian ibu Marita membawa sepiring makanan menyusul Marita.

Pendar kuning bola lampu menerangi kamar kecil yang lenggang. Marita di atas dipan bersembunyi di balik bantal. Ibunya membujuknya. Baru ia mau duduk.

“Minggu depan kalau abangmu pulang, kita pergi bersama ke pasar Selasa.”

Suara bapak Marita dari ruang tengah.

“Lho dengar to barusan bapakmu bicara. Ayo sahur di tengah, gak ilok makan di kamar”

Marita dan ibunya berjalan ke keluar kamar. Bapaknya sudah selesai makan.

“Lho sambelnya tinggal sedikit.”

“Marita tak usah sambel mak.”

Ia menerima sepiring nasi yang barusan dibawa ibunya ke kamar. Ibu dan anak itu pun mulai makan.

 

Sayup-sayup terdengar suara qira’ah dari toa masjid. Ibu dan anak itu telah selesai makan. Ibunya membawa barang-barang dapur itu kembali ke tempatnya. Marita malu-malu kucing ketika bapaknya duduk manis di kursi kayu. Sebentar kemudian suara penanda imsak terdengar. Suara bunyi nyaring ‘ngiiiing’ dari pengeras suara dekat tower radio.

“Cah ayu, minta maaf ke bapakmu. Tadi kau bilang apa pada bapakmu.”

Marita mencium tangan bapaknya.

Pangapurane Bapak”

Bapaknya mengelus rambutnya.

“Bapak mau berangkat ke masjid.”

Marita kembali ke kamar, menyiapkan buku pelajaran. Wajahnya sumringah kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reda

Mimpi Bunuh Diri