Zeus Lewat Depan Masjid (Kami)

Pada senja kali ini burung walet bernyanyi di antara dzikir yang menggema oleh toa. Lihatlah jalanan itu padat, orang-orang pulang kerja. Mobil, motor, sepeda, becak dan kerlap-kerlip lampu memenuhi jalan dan toko-toko. Dengarkan Deru mesin itu memekik di telinga. Aku duduk di tangga masjid, merokok dan minum teh.


Di bawah pohon tukang becak saling berbincang. Yang satu duduk di becak, yang satu lagi berdiri, dan sesekali mengembus asap dari mulutnya. Apa yang dibincangkan aku tak tahu, sebab ramai ini begitu sepi untuk mendengar keluh orang-orang di pinggir jalan.

Sementara kawanku tidur di tangga, ada rombongan keluarga lewat di depan kami. Berpakaian rapi dan mewah, kemudian lenyap. Satu orang tua berganti lewat di depan kami. Rambutnya gondrong putih.
Aku pandangi kakek itu, disela kawanku terus berkata, "Zeus, lihatlah Zeus, itu dia Zeus!" Dewa orang-orang Yunani itu, --bagi kami generasi nisbi-- bukan lagi mitos tentang raja para dewa olympian. Zeus bagi generasi kiwari, adalah lambang kecerahan, seperti arti kata Zeus itu sendiri, tapi, bagi mereka yang menang. Sementara bagi mereka yang kalah, Zeus sepertinya telah mengutuk lewat guntur-guntur kosong. Aku yakin akan menang, kawanku juga sama. Tapi kemenangan itu ada pada raja para dewa itu sendiri, yang dikendalikan oleh manusia di belakangnya.

Bagaimanapun Zeus tetaplah mitologi. Sebagian manusia meraih keuntungan dari mitos-mitos itu, dengan mengorbankan sebagian manusia yang lain, yang hanyut. Aku ingat, aku membisu dikutuk kekalahan, kekalahan oleh diriku sendiri. Aku lihat kawanku juga begitu. Dan kini, hanya kesunyian dan tawa yang menghidupi hidup kami. Tak ada lagi air mata. Karena sumber air mata itu sudah kering sejak kami kalah. Meski pada hari kemenangan lalu, kemenangan bagi umat islam. Kami termasuk orang yang belum menang sama sekali. Tapi aku sendiri senang melihat orang lain menang, menang melawan diri mereka sendiri, tapi mereka bagiku tetap kalah, kalah oleh diri mereka yang lain.

Pikiran-pikiran, ingatan-ingatan itu membuatku tak sadar. Dunia yang tinggal pada ingatan adalah dunia yang pernah ada bagi kehidupan manusia. Dan tetap ada pada diri manusia. Aku kembali tersadar, kalau tukang becak tadi yang sedang berbincang telah rampung. Yang satu menjauh, duduk di tangga masjid. Dan yang satunya lagi sempat hilang dari pandangku bersama becaknya, entah kemana. Barang aku minum teh sebentar, kulihat lagi becak itu kembali. Tinggal hanya seonggok becak. Pemiliknya, pikirku sedang sembahyang. Dan jalanan tetap sama, ramai. Tangga masjid juga ramai oleh orang-orang yang menunggu busway. Oleh sepasang kekasih yang aku dengar suaranya samar-samar berbincang tentang hidup mereka ke depan.

Aku kembali pada kesadaranku, pada dudukku. Dan kawanku pada nikmat rebahnya. 
"Habis sebatang rokok kita lanjutkan" ungkapnya.
Aku bertanya padanya, "Apakah kita hendak melanjutkan kedunguan dan kemalangan nasib kita?"
"Tidak, kita lanjutkan saja perjalanan ini"
"Tapi kemana?" Tanyaku lagi.
"Pulang dan lahir kembali" pungkasannya.

Tiba-tiba saja di sebelah kami duduk perempuan cantik, yang aku tak tahu datang dari mana, dan hendak kemana. Ia duduk saja sambil memakan pentol dan memandang gadget. Kemudian kami, aku dan kawanku, berdiri lalu beranjak pergi ketika gema adzan berkumandang.


Kediri, 13 Mei 2022.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reda

Mimpi Bunuh Diri