Ikrar
![]() |
| Dlodo. Kala lalu. |
Ia ikrarkan omong kosong berulang kali. pertama bibirnya gemetar dihadapan pria paruh baya. kedua ketika menatap sorot mata kekasihnya berkaca-kaca. Ketiga bibirnya fasih melafalkan tatkala kemudian dadanya sesak.
Sejak dahulu ia bukan penjahat, tapi kelakuannya tak karuan. Ia lucuti jiwanya hingga tak berisi. Dari padanya yang tersisa hanya akal, yang kelak menuntunnya untuk mengobati hati, setelah ia tusuk sendiri.
Sebelum ikrar itu ia ucapkan untuk kali pertama, hidupnya mujur tak ketulung. Apa yang ia lakukan dan pikirkan mesti sama. Pekerjaannya menunggu setoran saja, Uang, makan dan hampir semua kebutuhannya terpenuhi. Keinginannya pun belum ada yang tak tercapai. Kebanyakan orang iri padanya, kesal juga, bagaimana bisa ada manusia seperti dia, yang lebih dahulu mencicipi surga.
Hingga suatu masa saat musim kemarau. Kemarau panjang. Tanah-tanah menjadi gersang, sampai retak-retak. Pepohonan mempertahankan ranting, karena daun-daunnya telah lama gugur. Binatang-binatang bingung mencari tempat berteduh ketika siang, bingung mencari kehangatan saat malam. Dan ia, yang sedang kita gunjingkan ini, sempat syak, pikirannnya diombang-ambingkan angin barat, dan hatinya belum lagi pulih. Untuk pertama kalinya ia diam seribu bahasa. Sorot matanya mulai kosong.
Ia terpukul telak. Semua yang ia miliki perlahan habis. Tersisa sandang dan papan. Pangannya? Semenjak kekosongan menerpa, ia hanya diam menatap bunga-bunga yang tak lagi sanggup berbunga. Kadang kala ia berjalan mengejar bayangan kupu-kupu. Bayangan yang ia ciptakan sendiri. Lalu kembali diam.
Orang-orang di lingkungannya bertahan dengan tekad dan puasa. Membentuk sebuah wadah bersama untuk bertahan. Hanya ia seorang yang tidak bergabung. Ia sendiri. Tak ada yang menjauhinya, sebenarnya, orang-orang malah kasihan kepadanya. Banyak tangan yang terulur, ia saja yang tak mau menggapai tangan-tangan itu.
Diam. Diam. Diam.
Baru ia membuka bibirnya ketika pria paruh baya mencekik lehernya. Ia sekarat, Oleh pria paruh baya itu dilepas cekikan itu. Pria paruh baya itu saudaranya. Baru kemudian ia tak lagi diam. Seribu bahasa yang tersimpan ia muntahkan seluruhnya. Beberapa kata bijak ia dengar dari saudaranya, yang membuat ia berikrar, terbata-bata. Bibirnya bergemetar.
Kekasih yang telah lama tak ia pedulika, menyaksikan kejadian itu. Melihat mata kekasihnya ia mencoba tegas berikrar, tetap saja terbata-bata. Terakhir, dengan penuh rasa sesal ia teriakan ikrar sampai terdengar oleh beberapa telinga. Lancar! namun ia belum selesai. Karena hatinya kembali berbicara, dalam sedalamnya, menciptakan getaran baru.
"Jikalau harus berhenti, lalu apa guna kaki ini? Dan bila terus berjalan, bagaimana jika ternyata buntu atau malah tak berujung?"

Komentar
Posting Komentar