Titik Pasrah
![]() |
| Surabaya, 19 April 2021 |
Farikh memperlambat laju motornya, melihat lampu merah menyala. Siang pun menyala. Ia rasa hari begitu panas. Jaket tipis tak mampu menghalau sengatan mentari. Berurutan mobil dan motor dari belakan berhenti di sebelahnya. "Inikah panas neraka?" gumamnya dalam hati.
Lampu kuning sekejap berganti lampu hijau. Ia tancap gas penuh menuju tempat
berdagang.
Sampai di lapak dagangnya. Ia mempersiapkan alat tempur dagangnya. Usai semua
persiapan selesai ia tinggal duduk santai menghisap sigaret
Farikh dagang telur gulung. Sudah ia jalani enam bulan. Dulu ia bekerja di
perusahaan jasa pengiriman barang sebagai kurir. Belum genap setahun ia keluar.
Tak ada alasan lebih selain capai di jalan. Dari gaji yang ia tabung dan
pinjaman uang dari kakak iparnya ia mulai buka usaha sendiri. Lapak yang ia
gunakan kini adalah bekas lapak dagang kawannya semasa kuliah. Ia beruntung
karena baik letaknya. Dekat SPBU sekaligus dekat dengan pondok dan kampus.
Awal buka ia kewalahan karena belum terbiasa. Juga ramainya pembeli sempat
membuatnya terbata-bata. Sekarang ia sudah hafal dan terbiasa. Malah dengan
percaya diri penuh ia melayani pelanggan.
Banyak pelanggan tetap dari anak pondok. Membuat ia selalu semangat bekerja.
Pernah ketika bulan kedua berdagang, ia menutup lapaknya tiga hari sebab ada
acara keluarga. Karena lupa tak memberi tahu langganannya ia dikeluhkan
habis-habis, keluhan rindu telur gulung. Tetapi dengan gayanya berdagang yang
ramah dan penuh senyum-sapa, ia dimaafkan oleh pelanggan setianya.
Dari Timur dua dara muda berjalan. Farikh menduga kedua dara ini akan membeli
telur gulungnya. Dugaannya benar. Farikh menyambut ramah, kedua dara muda itu
memberi senyum tipis. "10 ribu jadi dua kang"
"Alright. Silahkan tunggu di kursi ning, capai nanti kalau berdiri terus"
Kedua dara muda itu duduk menunggu pesanannya. Farikh lihai menggulung-gulung
telur dengan tusuk kayu. Tangannya cepat dan tepat, 20 tusuk telur gulung
selesai dengan cepat. Satu dara memberikan dua kertas bernilai lima ribu
rupiah. Fatikh menerima uang itu dan tak luput mengucapkan: "Terima kasih.
Semoga cocok dan mampir lagi" dengan wajah sumringah. Ia lakukan bukan
semata-mata untuk menyenangkan pelanggan. Ia melakukan hal demikan karena tulus
melayani pelanggan.
Farikh duduk kembali. Menunggu pelanggan. Ia pandangi sekeliling, nampak orang
lalu lalang di jalan, di trotoar dan keluar masuk super market. Hematnya meski
hari begitu panas rupanya banyak orang yang antusias menyiapkan kedatangan
bulan suci. Iya, besok adalah hari pertama puasa. Dalam tradisi masyarakat di
lingkungan rumahnya dan di kabupatennya, sebelum memasuki ramadhan ibu-ibu
pasti sibuk di dapur, menyiapkan makanan serba enak, untuk megengan.
Bapak-bapak mulai membersihkan rumah mereka masing-masing. Anak-anak dengan
riang menyiapkan petasan bambu. Tak heran jika Farikh melihat sekililingnya
ramai, tak seperti hari-hari biasa.
Ia keluarkan sebungkus sigaret dari saku beserta koreknya. Sebatang sigaret ia
hisap. Kemudian melangkah ke warung kopi yang tak jauh dari lapaknya. Ia pesan
segelas kopi, lalu kembali ke lapaknya. Menunggu telah menjadi makanan
waktunya, ia terbiasa dan tak bosan. Jika ia merasa akan bosan, ia mulai
mencari teman bicara atau paling tidak membuka-buka catatan di HPnya. Ia hisap
perlahan sigaretnya, sedikit di tahan lalau ia hembuskan perlahan juga.
"Ini kopimu Rikh!"
"Terima kasih mbok, uangnya sudah kuberikan ke Pak Jo."
"Dienak-enakan Rikh, besok kau tak bisa lagi ngopi..."
"Bisalah mbok. Usai buka, ya, kan?"
"Ngopi siang yang mbok maksud Rikh!"
"Ya gak bisa lah mbok!"
"Besok masak apa ibumu?"
"Tak tahu mbok, belum d"
Dari barat lapak Farikh muncul kepala dari pintu. Pak Jo teriak memanggil
seraya mengatakan kepada istrinya, mbok Ja, kalau ada orang pesan makan.
Seketika suara menggema ity terdengar ke telinganya, mbok Ja langsung berbalik
badan meninggalkan Farikh.
Farikh mengingat-ingat kembali kalau lusa ia sudah berjumpa dengan bulan
ramadhan. Dan, tepat besok megengan dilaksanakan. Ia penasaran biyungnya masak
apa untuk megengan besok. Kalau ia mengingat megengan masa lampau, masa ketika
ia masih duduk di bangku TK, ketika ibunya memasak ikan bandeng saus tomat
dengan tempe dan tahu bumbu bali, serta ikut juga mie goreng kesukaannya. Makan
di langgar berjama'ah usai sembahyang magrib. Tiba-tiba saja ia kepingin
bandeng saus tomat. Dan kepikiran menyarankan biyungnya untuk masak apa yang
baru saja ia ingat-ingat.
Farikh berdiri dan menginjak puntung yang ia lempar dengan jarinya. Angin
kencang lewat meraba seluruh tubuhnya. Barang sebentar suara riuh angin mulai
terdengar keras. Diimbuh suara seng, spanduk yang mobat-mabit tak keruan, dan
disusul suara rintik hujan. Farikh mengundurkan gerobaknya. Dengan tanggap ia
segera memasukan ke gerobak barang-barang yang tak dapat terkena air. Menata
kursi dan seterusnya.
Hujan semakin deras, angin tambah banter. Farikh lega usai mengamankan alat dan
barang dagangnya. Ia duduk, menyulut sigaret lagi sembari menyaksikan daun-daun
pepohonan jatuh berterbangan. Dalam benaknya hanya barang dagangan yang belum
laku dan bagaimana bisa membelikan biyungnya bahan masak untuk megengan. Ia
menunduk, sebentar memejamkan mata. Kemudian hatinya bersuara: "Aku
percaya engkau baik ya Allah, maka jangan limpahkan kepada kami sesuatu yang
buruk"
Ia menyulut lagi sebatang sigaret. Dihisapnya dalam lalu ia hembuskan asap ke
atas, dengan harap suara hatinya ikut mengudara bersama asap sigaret ke langit.
Tempat doa-doa dilayangkan. Tak ada apapun yang ia pikirkan sekarang, hanya
berharap hujan segera reda. Namun sayang, angin kencang datang lagi, meributkan
apa-apa lagi, menjadikan air hujan terlempar kesana-kemari. Dan Farikh? Farikh
duduk mendekap kaki, menunduk lagi.
*
Baju yang sedikit basah, celana terlingkis, helm yang masih menyisakan air
hujan dan motor di depan rumah. Farikh menjinjing sandalnya dengan tangan kiri,
tangan kanannya mengetuk pintu seraya mengucap salam. Dari balik pintu, jauh,
terdengar jawaban salam, kemudian suara gesekan sandal sebentar kemudian
hilang. Dari balik pintu, terdengar bunyi 'klek'. Perlahan pintu terbuka.
Farikh mencium punggung tangan biyungnya. Kemudian masuk membersihkan diri. Ia
belum menceritakan hasil kerjanya hari ini.
Dari dalam kamar mandi terdengar suara gorengan minyak. Farikh yang telah
rampung bersih diri, segera mencium wangi bawang digoreng ketika membuka pintu
kamar mandi.
"Masak apa biyung?"
"Tumis bayam kesukaanmu"
"Semua masakan biyung aku suka. Enak tak ada duanya"
Biyung Farikh hanya tersenyum, menggeleng kepala, tangan kanannya mengaduk
bawang dengan sudip. Farikh sambil menggosok rambut dengan handuk, ia berjalan
menuju kamar, kemudian sembahyang. Usai sembahyang ia menyusul biyungnya ke
dapur.
"Punya jahe biyung?"
"Ada di bawah rak piring, di baskom warna biru."
Farikh membungkuk, tangannya meraba isi baskom. Di gepreknya jahe, kemudian ia
seduh dengan air panas dari dalak tremos.
Farikh duduk di ruang tamu, menikmati wedang jahem. Menunggu biyungnya selesai
masak. Matanya menyorot pada foto keluarga yang menempel di dinding kayu tak
berbingkai. Foto keluarga Farikh ketika acara nikahan bibinya. Di dalam foto
itu bapaknya tersenyum menggendong Farikh kecil. Ia tak pernah ingat betul
wajah bapaknya, kecuali dari foto.
Biyungnya masuk ke ruang tamu, mengingatkan Farikh kalau makanan sudah siap,
sekalian pamit hendak ke rumah tetangganya.
"Ada apa biyung, udah malam?"
"Mau pinjam kukusan apem, mbak Yeni punya dua."
Farikh paham dengan apa yang dilakukan biyungnya. Se-susah apapun keadaan,
tetap dilakoni. Pernah ia menyarankan untuk tidak membikin selametan kalau
memang tak ada uang. Tapi jawaban biyungnya tak mampu membuatnya membantah.
Sekembali biyung dari rumah tetangganya, Farikh meminta untuk berbincang barang
sebentar.
"Sore tadi hujan campur angin biyung"
"Sudah, tak apa. Biyung faham le,"
"Tapi biyung, besok uang darimana yang dibuat belanja?"
"Tak usah khawatir, masih ada yang maha kuasa."
"Tapi besok kan aku libur, biyung."
"Tak apa le, kalau Allah menghendaki pasti jadi. Segera istirahat besok
bersih-bersih rumah."
"Baik biyung, sebatang sigaret dulu."
"Jangan banyak-banyak merokok le"
Farikh berjalan ke halaman, duduk di dipan. Nampak orang-orang sudah ramai
berjaga di pos. Meski sudah jarang maling di desa-desa, warga tetap bergantian
berjaga di pos untuk sekedar menjalin kerukunan atau bermain kartu saja. Suara
gesekan daun bambu, sepoi angin dan suara tenggeret melengkapai malam. Usai
merokok ia cepat-cepat masuk rumah.
*
Dini hari ada pengumuman salah satu warga meninggal. Tetangga Farikh pemilik
pohon kelor utara langgar. Kata tetangga yang lain kepada Farikh bahwasannya
pak Lan terpeleset di kamar mandi ketika hendak mandi untuk sembahyang malam.
Usai takziyah Farikh mulai bersih-bersih. Biyungnya sibuk di kebun memetik daun
bayam. Saat Farikh membersihkan sawang, dari halaman rumah, anak pak Lan, mbak
Mijah memanggil biyung Farikh. Farikh turun dari tangga memanggil ibunya di
belakang.
Farikh meneruskan bersih-bersih, sesekali ia menengok biyungnya yang agaknya
serius berbincang dengan mbak Mijah. 'Apa gerangan yang mereka bincangkan'
dalam hati Farikh. Usai membersihkan sawang, biyungnya masuk rumah.
"Ada apa biyung?"
"Mbak Mijah bayar utangnya pak Lan. Dahulu pak Lan pernah hutang kepada
biyung. Tapi biyung lupa."
"Memangnya berapa biyung utangnya?"
"70 ribu le."
"Cukup biyung buat beli ikan bandeng?"
"Cukup le, bahan-bahan masak biyung masih banyak, hanya perlu beli ikan
bandeng saja. Selesai bersih-bersih antar biyung ke pasar."
Farikh mengagguk tersenyum. Barangkali hanya senyum yang bisa mewakilkan,
ditimpa kebetulan.

Komentar
Posting Komentar